Les Mengaji Pondok Indah, Bintaro dan Depok

Kehidupan kota semakin menyisihkan waktu kita untuk sekedar membuka kembali ayat-ayat Nya yang terdapat di dalam Al-Qur'an. Heningkan sejenak khusyu'kan tujuan mari kita belajar bersama membaca kembali dan mempelajari kandungan ayat di dalam al-Qur'an yang mungkin hilang di entitas aktivitas keseharian.

Mari kembali belajar bersama.

METODE-METODE MENGHAFAL AL-QURAN


A. Pendahuluan

Al-Quran ialah kalam Allah yang bernilai mukjizat, yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya terhitung sebagai ibadah dan tidak akan ditolak kebenarannya.

Kebenaran Al-Quran dan keterpeliharaannya sampai saat ini justru semakin terbukti. Al-Quran telah memberikan penegasan terhadap kebenaran dan keterpeliharaannya.

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)

Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.

Meskipun diyakini bahwa Al-Quran dipelihara Allah SWT, namun hendaknya kita kaum muslim jangan terpaku pada penafsiran secara harfiyah sehingga tidak melakukan usaha apa-apa. Oleh karena itu salah satu cara untuk menjaga kemurnian Al-Quran adalah dengan menghafalnya, hal ini biasanya disebut dengan tahfidz al-Quran yaitu dengan cara membuka hati orang-orang yang dikehendakinya untuk menghafal Al-Quran sebagai usaha untuk menjadi orang-orang pilihan dan yang diamanati untuk menjaga dan memelihara kemurnian Al-Quran.

Pesantren Tahfidz Daarul Quran Internasional, didirikan oleh al-muhtarom KH. Yusuf Mansur dengan tujuan untuk mencetak generasi-generasi Qurani yang berwawasan dan berdaya saing global, berusaha untuk menjadi salah satu lembaga yang konsisten dalam menjaga kelestarian Al-Quran. Maka dari itu, dibuatlah berbagai metode menghafal untuk para santri maupun kalangan umum agar lebih mempermudah dalam menghafal. Salah satu metode yang paling terkenal dan sudah popular adalah one day one ayat.

B. Metode Menghafal Al-Quran

Ada beberapa metode menghafal Al-Quran yang bisa dipakai oleh para penghafal Al-Quran diantaranya:

1. Metode (Thariqah) Wahdah

Yang dimaksud dengan metode ini, yaitu menghafal satu persatu terhadap ayat yang hendak dihafalnya. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca sebanyak sepuluh kali atau dua puluh kali, atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk pola dalam bayangannya. Dengan demikian penghafal akan mampu mengkondisikan ayat-ayat yang dihafalkannya bukan saja dalam bayangannya, akan tetapi hingga benar-benar membentuk gerak refleks pada lisannya.

2. Metode (Thariqah) Kitabah

Kitabah artinya menulis. Metode ini memberikan alternatif lain daripada metode yang pertama. Pada metode ini penulis terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya sehingga lancar dan benar bacaannya, lalu dihafalkannya.

Kelebihan dari metode ini adalah cukup praktis dan baik, karena disamping membaca dengan lisan, aspek visual menulis juga akan sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangannya, dan sekaligus melatih santri/penghafal untuk menulis tulisan arab.

3. Metode (Thariqah) Sima’i

Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah mendengarkan sesuatu bacaan al-Quran untuk dihafalkannya. Metode ini sangat efektif bagi penghafal yang memiliki daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra, atau anak-anak yang masih dibawah umur yang belum mengenal tulis baca Al-Quran.

4. Metode (Thariqah) Gabungan

Metode ini merupakan gabungan antara metode pertama dan metode kedua, yakni metode wahdah dan metode kitabah. Hanya saja kitabah disini lebih memilki fungsional sebaga uji coba terhadap ayat yang sudah dihafalnya. Maka dalam hal ini, setelah penghafal selesai menghafal ayat yang dihafalnya kemudian ia mencoba menuliskannya di atas kertas yang telah disediakan untuknya dengan hafalan pula.

5. Metode (Thariqah) Jama’i

Yang dmaksud dengan metode ini ialah cara menghafal yang dilakukan secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang instruktur/pembimbing.

Pertama: pembimbing membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa menirukan secara bersama-sama. Kemudian instruktur membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan siswa mengikutinya.

Kedua: setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti bacaan instruktur dengan sedikit demi sedikit mencoba melepaskan mushaf, demikian seterusnya sampai ayat-ayat itu benar-benar hafal.

Pada prinsipnya semua metode di atas baik sekali untuk dijadikan pedoman menghafal Al-Quran, baik salah satu di antaranya, atau dipakai semuanya sesuai dengan kebutuhan dan sebagai alternatif dari pada cara menghafal yang terkesan monoton, sehingga degan demikian akan menghilangkan kejenuhan dalam proses menghafal Al-Quran.

C. Strategi Menghafal Al-Quran

Untuk membantu mempermudah terhadap ayat-ayat yang sudah dihafal, maka diperlukan strategi menghafal yang baik. Strategi itu antara lain adalah sebagai berikut:

a. Strategi Pengulangan Ganda

Untuk mencapai tingkat hafalan yang baik, tidak cukup dengan sekali proses. Maka dibutuhkan pengulangan-pengulangan terhadap ayat yang sedang dihafalnya. Umpamanya, jika pada waktu pagi hari telah mendapatkan hafalan satu halaman maka untuk mencapai tingkat kemapanan hafalan yang mantap, perlu pada sore harinya diulang kembali menghafalnya satu per satu ayat yang telah dihafalnya di pagi hari. Dan bisa juga diulang ketika shalat sendiri, misalnya pada waktu shalat sunnat.

b. Tidak Beralih Pada Ayat Berikutnya Sebelum Ayat Yang Sedang Dihafal Benar-Benar Hafal

Pada umumnya kecenderungan seseorang dalam menghafal Al-Quran ialah cepat-cepat selesai, atau cepat mendapat sebanyak-banyaknya. Hal ini menyebabkan proses menghafal itu sendiri menjadi tidak konstan, atau tidak stabil dan justru akan menambah beban terhadap hafalan karena banyaknya hafalan yang belum lancar. Oleh karena itu, hendaknya penghafal tidak beralih kepada ayat lain sebelum dapat menyelesaikan ayat-ayat yang sedang dihafalnya.

c. Menghafal Urutan-Urutan Ayat Yang Dihafal

Untuk mempermudah proses ini, maka memakai Al-Quran yang biasa disebut dengan al-Quran pojok akan sangat membantu. Jenis mushaf Al-Quran ini mempunyai ciri-ciri:

1. Setiap juz terdiri dari sepuluh lembar (20 halaman)

2. Pada setiap muka/halaman diawali dengan awal ayat, dan diakhiri dengan akhir ayat.

Dengan menggunakan mushaf seperti ini, maka penghafal akan lebih mudah membagi-bagi sejumlah ayat dalam rangka menghafal rangkaian ayat-ayatnya.

d. Menggunakan Satu Jenis Mushaf

Di antara strategi menghafal yang banyak membantu proses menghafal Al-Quran ialah menggunakan satu jenis mushaf. Hal ini perlu diperhatikan, karena bergantinya penggunaan satu mushaf kepada mushaf yang lain akan membingungkan pola hafalan dalam bayangannya.

e. Memahami (Pengertian) Ayat-Ayat Yang Dihafalnya

Dengan mengerti akan arti/makna dari ayat yang dihafal akan mempermudah dalam proses menghafalnya.

f. Memperhatikan Ayat-Ayat Yang Serupa

Banyak sekali ayat yang serupa/mirip di dalam Al-Quran, sehingga penghafal harus jeli dan teliti terhadap ayat yang dihafal. Di dalam juz satu misalnya ada ayat yang persis dengan ayat juz 28. Sehingga kalau para penghafal tidak jeli, maka bisa jadi ketika membaca juz satu malah loncat ke juz 28.

g. Disetorkan Pada Seorang Pembina/Musyrif

Materi yang sudah dihafal hendaknya diperdengarkan (disimak) kepada orang lain, dalam hal ini kepada para ustadz yang ahli, karena itu jangan mempercayai diri sendiri karena kerap kali sering salah.

AHKAM AL-QUR'AN


Penulis:AL-JASHSHASH
Kategori:Tafsir Fiqh
Mazhab:Hanafiah-Mutazily
Terbit:1985 M


Jilid : 5 buah

Penerbit : Dar Ihya at-Turas al-Arabi (Beirut).

Tafsir ini dianggap salah satu kitab tafsir penting di antara kitab-kitab tafsir yang berhaluan fiqh Hanafi. Dikatakan demikian karena tafsir tersebut lebih mengagung-agungkan dan membela mazhab hanafi.

Kitab ini memaparkan semua surah Al-Qur'an, namun hanya ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum saja. Kendati mengikuti alur urutan surah-surah Al-Qur'an, kitab ini juga disistematisasi berdasarkan bab-bab fiqh. Setiap babnya diberikan judul sesuai dengan masalah yang ada di dalam ayat tersebut berdasarkan pandangan penulisnya. Penjelasannya tidak berusaha mengambil kesimpulan hukum dari ayat-ayat, tetapi lebih cenderung mengangkat problematika fiqh dan perbedaan pendapat antar ulama, sampai-sampai agak identik dengan kitab-kitab fiqh perbandingan (muqaran).

Di dalamnya juga diulas ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi, hanya saja penjelasannya cenderung menguatkan pendapat kalangan Mu'tazilah dan ini berpengaruh pada tafsirnya. Hal ini wajar sebab ia begitu fanatik dengan mazhab teologi yang diyakininya tersebut, sebagaimana diakui oleh Penulis sendiri dalam Mukaddimah kitab tafsir ini.

Pembahasan tafsir ini merujuk kepada riwayat dari Nabi Saw., para sahabat, dan para tabi’in, serta pendapat ahli fiqh dari kalangan madzhab Hanafi. Bahkan, dalam hal yang terakhir ini terlihat begitu fanatik dan dominan.

(Keterangan ini merujuk pada kitab “Al-Tafsir wa al-Mufassirun” karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby dan kitab “Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum” karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi)

AHKAM AL-QUR'AN


Penulis:IBNU AL- ARABI
Kategori:Tafsir Fiqh
Mazhab:Maliki-Asyariyah
Terbit:1968 M


Jilid : 4 buah

Penerbit : Dar al-Ihya al-'Arabiyyah, Beirut

Kitab tafsir ini merupakan salah satu karya tafsir yang membahas berbagai dimensi hukum dalam Al-Qur’an yang berafiliasi pada madzhab Fiqh-Maliki. Di dalamnya menyoroti semua surat dalam Al-Qur’an, tetapi hanya ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum saja.

Sistematika penulisannya diawali dengan penyebutan surat, lalu mengidentifikasi ayat-ayat hukum yang ada di dalamnya secara berurutan, di mana beberapa ayat tersebut kemudian dijelaskan dan diambil kesimpulan hukumnya.

Pembahasan tafsir ini disandarkan pada pendekatan bahasa dan hadis yang diriwayatkan dari Nabi atau para sahabat yang memiliki kekuatan hukum. Penulis juga di dalamnya berusaha mengklarifikasi kualitas (ke-tsiqat-an) para perawi hadis dan melakukan perbandingan madzhab fiqh, sekaligus menguatkan pandangan madzhab Maliki dengan berbagai argumentasinya.

Selain tafsir ini, Ibnu Al-‘Arabi sebenarnya juga melahirkan karya tafsir lain, yang tidak dikategorikan sebagai Tafsir Fiqh, yaitu “Anwar al-Fajr fi Tafsir Al-Qur’an”dan “Qanun at-Ta’wil fi Tafsir Al-Qur’an” .

(Keterangan ini merujuk pada kitab “Al-Tafsir wa al-Mufassirun” karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby dan kitab “Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum” karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi)

ADHWA' AL-BAYAN


Penulis:MUHAMMAD AMIN ASY-SYANQITHI
Kategori:Tafsir Fiqh
Mazhab:Maliki-Salafi
Terbit:1382 H


Jilid : 9 buah

Penerbit : ‘Alam al-Kutub (Beirut).

Judul lengkapnya adalah Adhwa' al-Bayân fi Idhâhi al-Qurân bi al-Qurân. Tafsir ini diterbitkan oleh 'Alam al-Kutub (Beirut) pada tahun 1382 H. dan oleh Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, pada tahun 1408 H. (9 jilid).

Tafsir ini pada hakekatnya merupakan karya bersama antara seorang guru dengan seorang murid, hampir sama dengan Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Rasyīd Ridha. Perbedaannya, dalam Tafsir al-Manār tulisan murid yang lebih panjang, sedangkan di sini tulisan guru yang lebih dominan. Ali-Iyazi menjelaskan bahwa penulisan tafsir ini dilakukan dengan cara mendiktekan. Hal itu dilakukan sampai akhir surah al-Mujadalah. Sebagaimana Muhammad Abduh, Asy-Syanqithi terhalangi oleh keterbatasan usianya untuk menyelesaikan tafsirnya sampai akhir. Karenanya, usaha tersebut dilanjutkan oleh muridnya, Atiyyah Muhammad Salim, dengan menambahkan tiga jilid terakhir. Dua jilid merupakan penyempurnaan terhadap tafsirnya dan jilid yang terakhir memuat ringkasan karya-karya as-Syanqithi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Tafsir ini tidak mengakomodasi keseluruhan ayat Al-Qur'an. Ayat-ayat yang dibahas dipilih berdasarkan tingkat kesulitan menurut penulisnya. Artinya, yang dipaparkan di sana adalah ayat-ayat yang menurut asy-Syanqithi susah dipahami.

Ia menafsirkan ayat yang global, baik karena lafadz satu kata terlihat sangat umum maupun karena redaksinya. Hal itu dijelaskan dengan rincian atau penjelasan yang terdapat pada surah lain, baik berupa penjelasan yang eksplisit maupun yang implisit. Penyempurnaan yang dilakukan muridnya, 'Atiyyah Muhammad Salim, juga menggunakan metodologi yang sama. Ia mengusahakan apa yang pernah diusahakan penulisnya sendiri, bahkan menambahkan beberapa hal yang dianggap perlu dan belum sempat ditunaikan oleh gurunya tersebut.

Dalam pendahuluannya, asy-Syanqithi menyebutkan tujuan penyusunan kitab tafsirnya yang berkisar pada dua hal: Pertama, menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan al-Qur'an; dan Kedua, menjelaskan hukum-hukum fiqh yang di dalamnya terdapat masalah hukum. Menjelaskan dalil-dalilnya, dari sunnah Nabi, pendapat para ulama dengan memaparkan hasil tarjihnya.

Ia memulai tafsirnya dengan menyebut dan menjelaskan kata yang maknanya samar-samar di dalam sebuah ayat al-Qur'an. Hal ini dilakukan tanpa menyebutkan identitas surah seperti nama, keutamaan, dan qira'ahnya, serta tidak menjelaskan semua kata yang ada di dalam sebuah ayat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mufassir sebelumnya.

Seperti yang ia jelaskan di dalam pembukaan kitabnya mengenai metodologi yang ditempuh, ia hampir tidak membahas satu ayat Al-Qur'an pun kecuali hal itu dijelaskan dengan ayat yang lain. Ia juga kadang-kadang menjelaskan ayat-ayat tentang masalah hukum secara panjang lebar, menampilkan masalah-masalah kebahasaan, seperti sharf dan i'rab, sepanjang hal tersebut dibutuhkan, dan sya’ir Arab sebagai pembuktian (syawâhid). Di antara yang menjadi pusat perhatiannya juga adalah pemaparan dan penjelasan masalah-masalah teologis. Khusus yang berkaitan dengan masalah ini, seperti sifat-sifat Tuhan, ru'yat(melihat Tuhan), Tuhan bersemayam, qadha dan qadar, dan lain-lain, beliau mengikuti faham teologis ahl As-Sunnah wa al-Jamâ'ah as-Salafiyyah.

Dalam pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqh dan teologi, ia lazimnya memaparkan pendapat dari berbagai aliran dan kemudian mentarjihnya (sintesa). Di sini nampak dukungannya yang sangat kental terhadap aliran ahlussunnah.

Pembahasan tafsirnya didasarkan pada pendapat para sahabat, tabi’in, para mufassir sebelumnya, seperti at-Thabari, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan az-Zamakhsyari, serta merujuk pada hadis-hadis yang tercantum dalam enam kitab hadis yang shahih (kutub as-sittah) dan pendapat-pendapat ahli fiqh yang empat (madzahib al-arba’ah). Juga, banyak pendapat mengenai hukum yang dinukil dari al-Qurthubi, an-Nawawi, dan Ibnu Qudâmah di dalam kitab tafsir ini.

(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan kitab Adhwa' al-Bayân sendiri).

AHKAM AL-QUR’AN


Penulis:AL-KIYA AL-HARASY
Kategori:Tafsir Fiqh
Mazhab:Syafii-Asyariyah
Terbit:1974 M


Jumlah : 4 Juz dalam 2 Jilid

Terbit : Dar al-Kutub al-Haditsah (Kairo)

Menurut Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Kitab Tafsir Ahkam karya al-Kiya al-Harasi ini merupakan karya monumental dari kalangan mazhab Syafi'i, terutama yang menggunakan pendekatan disiplin fiqh. Dikatakan demikian karena kitab ini merupakan kitab dari kalangan Madzhab Syafi’i yang pertama kali terbit dan sampai kepada kita. Sebenarnya kitab Ahkâm Al-Qur'an yang disandarkan kepada Imam Syafi'i pernah dibuat oleh al-Baihaqi, namun tidak mengkaji seluruh ayat Al-Qur'an secara lengkap, sementara kitab ini memaparkan seluruhnya.

Kitab tafsir ini banyak mempromosikan dan membela Mazhab Syafi'i, sedangkan di sisi lain menyerang (pendapat) Imam Abu Hanifah, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Jashshash – pendukung mazhab Hanafi – kepada Imam Syafi'i, dan atau yang dilakukan oleh Ibnu al-‘Arabi kepada Imam Syafi'i dan Abu Hanifah.

Fanatisme mazhab ini terlihat jelas pada pembukaan tafsirnya yang dinyatakan sebagai berikut: "Sesungguhya mazhab Syafi'i adalah mazhab yang paling benar dan paling lurus. Pandangan-pandangan Imam Syafi'i dalam banyak pokok masalah, penafsirannya telah bergeser dari yang meragukan (zhanni) ke level kebenaran (al-haq al-Yaqîn). Hal ini disebabkan karena Imam Syafi'i membangun pemikirannya di atas pondasi yang kokoh dan abadi di atas sumber utama, kitabullah, yakni sumber yang bersih dari kontaminasi kebatilan dan kebohongan".

Berangkat dari prinsip inilah maka metodologi yang dikembangkan di dalam tafsirnya selalu diwarnai dengan pembelaan terhadap Imam Syafi'i, baik yang berkaitan dengan pokok-pokok Ajaran Islam maupun masalah-masalah furu' (cabang).

Pada bagian lain di dalam muqaddimahnya ia berkata: “…….setelah melihat urusannya demikian, maka hati saya tergugah untuk menyusun kitab Ahkam al-Qur'an ini. Sebuah kitab tafsir di mana saya dapat menjelaskan pijakan Imam Syafi'i dalam menentukan dalil-dalil ketika menemukan masalah-masalah yang samar”.

Kitab tafsir ini dalam pembahasannya merujuk pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasulullah Saw., para sahabat, dan tabi’in.

Metodologi pemabahasannya dibuat secara sistematis persurat. Penulis memfokuskan diri dan mendahulukan pembahasannya pada ayat-ayat yang terkait dengan masalah hukum dan mengangkat berbagai pendapat yang berkisar tentang problematika tersebut. Di samping itu, al-Harasy juga menguraikan permasalahan teologis dan masalah-masalah kontroversial antar madzhab, terutama antara madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Hanafi, karena – menurut Ali Iyazi – tidak ditemukan keterangan yang merujuk kepada madzhab Imam Ahmad dan Imam Maliki.

Ali Iyazi dalam kitabnya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, mengambil kesimpulan bahwa karya al-Harasy ini tidak moderat dalam menjelaskan permasalahan hukum, di mana ia lebih cenderung berpihak dan meluruskan pendapat madzhabnya sendiri (Syafi’iyah) ketika menukil berbagai pendapat dari madzhab lain.

Kitab ini, menurut adz-Dzhabi, ditulis dalam jilid besar yang sementara ini masih terdapat di Dâr al-Kutub al-Mishriyah dan perpustakaan al-Azhar.

(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby; dan kitab (Muqaddimah) Ahkam al-Qur’an).

AL-KASYSYAF


Penulis:AZ-ZAMAKHSYARI
Kategori:Tafsir Sastra
Mazhab:Zaidiyah
Terbit:1953 M


Kitab tafsir ini berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, yang disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.

Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.

Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.

Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.

Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.

Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).

Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.

Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:

"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.

Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain:Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.

Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:

1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;

2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;

3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;

4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;

5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,

6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,

7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan

8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.

Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.

Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.

(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsir wa Rijaluhu karya Al-fadhil ibnu ‘Asyur; kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun karya Abdur Rahman ibnu Khaldun; kitab Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an karya Manna’ al-Qaththan; dan kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab Al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby; dan kitabAl-Isra’iliyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir karya Muhammad bin Muhammad Abu Shabah).